Sekarang kita akan bahas hukum hukum Ibadah Haji, dan pastikan telah membaca tulisan Haji Nabi dalam Hadits. Sekarang kita akan bicara tentang bagaimana nash itu kita jadikan sebagai dasar rujukan dalam mempelajari hukum-hukum haji.
Baca Juga
- Jenis Pelaksanaan Ibadah Haji – Qiran
- Apakah Wajib Menyegerakan Haji ? – Hukum Haji Bag. 3
- Hukum Hukum Haji – Bagian 2
- Hukum-Hukum Ibadah Haji Bag. 1
- Ibadah Haji Nabi Dalam Hadits
Yang perlu diingat adalah bahwa keberadaan nash yang sahih bukan berarti sudah selesai dalam masalah kesimpulan hukum. Bahkan kitab suci Al Qur’an yang sudah qath’i dari segi tsubut-nya, tetap masih dipahami hukumnya dengan cara yang berbeda oleh para ulama.
Ayat-ayat Al-Qur’an semuanya sudah qath’iyuts-tsubut, karena semuanya sudah mencapai derajat mutawatir dalam periwayatan dari Nabi saw. Sampai ke kita. Namun tidak semua ayat Al-Qur’an itu berstatus qath’i dalam dilalah-nya, yaitu dalam penarikan status hukum yang berlaku. Kita menyebutnya dhzanniyud-dilalah.
Demikian juga dengan hadits-hadits nabawi. Meski status Tsubut-nya sudah sahih dan tidak ada masalah karena Hadits itu tercantum di dalam Sahih Bukhari atau Sahih Muslim, namun dalam hal menarik kesimpulan hukum, bisa saja terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Misalnya, ketika Nabi saw. meminum air zamzam, mencium Hajar Aswad, menunggang unta, menyampaikan khotbah di Padang Arafah di selasela ritual ibadah haji, yang menjadi pertanyaan adalah apa hukum dari semua itu?
Apakah semua itu hukumnya wajib untuk dikerjakan bagi kita, sehingga bila ada yang meninggalkannya dianggap berdosa atau tidak sah hajinya? Ataukah sebagiannya saja yang wajib, lalu sebagiannya sunah dan sebagiannya lagi hukumnya mubah?
Dalam hal ini tentu harus ada metodologi standar yang digunakan dalam menarik kesimpulan hukum. Dan metodolgi itu juga harus baku dan dapat dipertanggung-jawabkan ilmiah. Juga ada tanggung jawab kepada Allah Swt.
llmu yang secara khusus menangani masalah ini tidak lain adalah ilmu fikih.
Daftar Isi
Ilmu Fikih Untuk Menarik Kesimpulan Hukum Ibadah Haji
Ilmu fikih bukan ilmu yang tiba-tiba lahir begitu saja. Fikih bukan wahyu yang tiba-tiba turun dari langit untuk menyelesaikan masalah. Kita sudah tidak lagi hidup di masa turunnya wahyu. Wahyu sudah berhenti turun dari langit, dan jasad Rasulullah saw. sudah dikuburkan. Yang tersisa sekarang buat kita adalah mempelajari semua wahyu yang turun secara hati-hati, cermat, teliti dan komprehensif baik berupa Al-Qur’an Al-Karim atau berupa petunjuk Rasulullah saw. dalam sunahnya, serta arsar para sahabat yang mulia.
Mujtahid Untuk Menarik Kesimpulan Hukum Ibadah Haji
Ilmu fikih tidak bisa dihasilkan oleh orang awam. Ilmu ini hanya bisa dihasilkan oleh mereka yang punya ilmu dan keahlian khusus. Mereka tidak lain adalah mujtahid yang butuh waktu belajar keras bertahun-tahun untuk bias sampai pada level mujtahid yang ahli di bidang ini.
Ibarat ilmu kedokteran, meski menolong dan mengobati orang sakit itu hukumnya diperintahkan kepada siapa saja, tetapi tidak semua orang berhak dan bisa meraih cita-cita menjadi seorang dokter. Dunia kedokteran itu adalah sebuah disiplin ilmu yang butuh tingkat kemahiran yang tinggi. Seseorang wajib lulus dari Fakultas Kedokteran terlebih dahulu agar berhak menyandang gelar dokter. Dan wajib mendapat izin praktik agar boleh berpraktik secara resmi.
Demikian juga dengan ilmu fikih, ilmu ini bukan ilmu sembarangan. Mereka yang bisa menarik kesimpulan hukum terbatas hanya para mujtahid sejati, tentunya ada sekian banyak disiplin ilmu yang harus mereka kuasai.
Dan tidak ada satu pun dari kita di zaman ini yang memiliki spesifikasi mujtahid sebagaimana yang ada di masa lalu. Bukan berarti pintu ijtihad sudah ditutup, namun karena sebagian besar masalah hukum memang sudah diselesaikan oleh para mujtahid di masa lalu, serta sedikitnya orang-orang alim di masa sekarang ini.
Yang tersisa di masa sekarang ini tinggal beberapa bagian dari sisa-sisa masalah yang memang tidak mungkin diijtihadkan di masa lalu. Maka tetap dibutuhkan ijtihad di masa kini, yang dilakukan oleh para mujtahid yang ahli di bidang ilmu ini.
Intinya, kita sebagai orang awam tentu membutuhkan sentuhan fatwa ahli dari para mujtahid, baik di masa lalu atau mujtahid di masa sekarang, untuk memahami lebih jauh tentang hukum-hukum haji, di luar nash-nash yang telah baku dan tidak akan berubah.
Penetapan Hukum
Hasil yang kita harapkan dari fikih haji dan ijtihad para ulama adalah kesim- pulan hukum yang mempermudah kita dalam mengerjakan ibadah haji. Agar kita mampu membedakan mana yang menjadi rukun haji, sehingga tidak boleh luput dari ritual haji yang kita kerjakan, dan mana yang menjadi wajib haji, sehingga bila dalam kasus tertentu sampai terlewat, kita jadi tahu bahwa ada konsekuensi hukumnya.
Dengan adanya fikih haji ini maka kita juga tahu apa perbedaan antara sunah haji dan mustahab haji. Sehingga kita mengerjakan ibadah dengan sepenuh kesadaran dan percaya diri, tanpa kebingungan karena disalah-salahkan oleh orang yang sebenarnya juga bukan ahli ijtihad.
Dan tentunya fikih haji sangat bermanfaat agar orang yang tidak punya kapasitas dalam berijtihad tidak dengan seenaknya sendiri menelurkan fatwa, sambil menuding orang lain telah keliru mengerjakan ibadah haji.
Perbedaan Fatwa Hukum Haji
Kalau kita mendapati bahwa di dalam fikih haji ada banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama, sehingga terkesan menyusahkan atau malah bikin kurang percaya, maka kewajiban kita adalah harus objektif untuk memahami duduk masalahnya.
Dalam mempelajari ilmu fikih, ada berbagai tingkatannya. Para ulama sangat paham dalam masalah ini. Bagi mereka yang masih awam dan baru melek ilmu fikih, tidak dianjurkan untuk belajar dengan menggunakan kurikulum yang bukan untuk levelnya.
Cukup menggunakan kurikulum untuk pemula, yang tentu cirinya sederhana, mudah, jelas, dan singkat. Tidak perlu ribut mengkaji dalil yang saling bertumpang-tindih dan terkesan saling berbeda.
Nanti kalau sudah paham dan punya dasar pijakan, diperbolehkan menaikkan tingkat kajiannya, misalnya menggunakan kitab yang sudah ada dalil dalilnya, meski masih menggunakan versi satu mazhab saja.
Dan di level berikutnya lagi, barulah kita mengkaji fikih haji yang sifatnya perbandingan mazhab. Di mana di dalamnya memang ada kajian yang lebih rumit tentang perbedaan-perbedaan pendapat di antara para ulama ahli ijtihad.
Dan di dalam praktiknya, kita memang selalu akan menemukan perbedaan pendapat dalam masalah hukum-hukum haji. Namun perbedaan pendapat itu selama masih mengacu kepada hasil ijtihad dari para ulama dan mazhab yang mu’tabar, tentu sesuatu yang justru merupakan kebaikan ketimbang keburukan.
Namun ketika ijtihad itu dilakukan oleh mereka yang bukan ahli di bidang itu, maka tunggulah kehancurannya.
Tulisan ini meski ditulis untuk para pemula, namun mengingat begitu tajamnya pendapat-pendapat tentang hukum-hukum haji yang berkembang di tengah masyarakat, maka Penulis merasa berkewajiban untuk memberikan perbandingan antara satu pendapat dengan pendapat yang lain. Memang idealnya buat pemula, jangan dulu dipusingkan dengan berbagai perbedaan pendapat.
Namun perkembangan informasi dan luasnya akses yang bisa dicapai lewat media, membuat masyarakat kebanjiran informasi berbeda dan bertentangan.
Akibatnya timbul kebingungan bagi mereka yang awam dalam memahami fikih haji. Untuk itulah tulisan lengkapi dengan perbandingan berbagai pendapat di kalangan para ulama. Tujuannya agar pembaca awam tidak terlalu terkaget-kaget dengan berbagai perbedaan itu.
Semoga Allah Swt. memudahkan kita dalam mempelajari agama dan syariat-Nya, amin.
Baca Juga